DENPASAR – Spanduk bertuliskan "Jangan Kriminalisasi Keluarga Kami" terbentang di tangan keluarga besar Jero Kepisah, yang kini berjuang melawan dugaan kriminalisasi demi mempertahankan tanah warisan seluas 8, 6 hektar di Subak Kerdung, Pedungan, Denpasar Selatan.
Keluarga ini menuding adanya praktik mafia tanah yang ingin merampas hak mereka.
“Masihkah ada hukum di negara ini? Masihkah ada keadilan?” seru AA Ngurah Oka, tetua keluarga, Selasa (3/12/24).
Dengan nada getir, ia mempertanyakan keberpihakan aparat hukum yang dianggap mengabaikan fakta dan justru memproses kasus perdata mereka sebagai pidana.
Baca juga:
Pasangan Muda Mudi Mesum Terekam CCTV
|
9 Tahun Berjuang Melawan Dugaan Mafia Tanah
Tanah sawah warisan keluarga Jero Kepisah telah dikelola secara turun-temurun selama empat generasi dan dilindungi sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, sertifikat yang seharusnya menjadi jaminan kepastian hukum itu justru tak mampu melindungi mereka dari praktik mafia tanah.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal kehormatan keluarga kami. Tanah ini adalah warisan nenek moyang yang telah dilindungi hukum, ” tegas Ngurah Oka.
Manipulasi Hukum: Perdata Dipaksakan Jadi Pidana
Kuasa hukum keluarga, Wayan ‘Dobrak’ Sutita, menuding adanya intervensi dari pihak berkepentingan yang mengarahkan kasus ini ke ranah pidana.
“Kasus ini murni sengketa perdata, tapi diubah menjadi pidana. Ini adalah bentuk nyata kejahatan berkedok penegakan hukum, ” ujarnya.
Wayan juga menyoroti bahwa pelapor yang disebut memiliki kekuatan finansial besar diduga berkolaborasi dengan jaringan mafia tanah. “Hukum seperti dipermainkan. Korban dipaksa menjadi terdakwa, sedangkan pelaku sebenarnya justru bebas melenggang, ” tambahnya.
Aturan Hukum yang Diabaikan
Mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1956, disebutkan bahwa perkara pidana harus ditangguhkan apabila terkait dengan sengketa perdata yang belum diputuskan.
Hal ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 1980 tentang prejudicial geschil—dimana perkara perdata harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum melangkah ke ranah pidana.
Namun, prinsip ini tampaknya diabaikan. “Seyogianya pengadilan menjunjung keadilan dengan memprioritaskan penyelesaian perdata sebelum melangkah ke pidana. Tapi, apa yang terjadi? Mafia tanah seperti berkuasa di atas hukum, ” kritik Wayan.
Ironi Penegakan Hukum di Indonesia
Kasus keluarga Jero Kepisah menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, sertifikat hak milik yang seharusnya menjadi bukti kuat diabaikan. Di sisi lain, kasus yang sejatinya merupakan perdata justru dipaksakan ke ranah pidana.
“Perjuangan ini bukan hanya untuk keluarga kami, tapi juga demi tegaknya keadilan di negeri ini. Kami meminta Presiden, Kapolri, dan Mahkamah Agung turun tangan. Hentikan mafia tanah, tegakkan hukum dengan benar, ” pungkas Ngurah Oka.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi penegakan hukum di Indonesia. Akankah keadilan berpihak pada yang benar, atau justru tunduk pada kekuatan mafia tanah? (Ray)